Batik Yogyakarta
Batik yogyakarta atau batik jogja merupakan bagian dari budaya Jawa. Setiap motif batik tulis
jogja yang ada di tiap daerah, memiliki bentuk dan artinya sendiri.
Motif dan bentuk tersebut mencerminkan filosofi hidup masyarakat
sekitar. Batik Yogyakarta mempunyai variasi tersendiri. Batik
tradisional di lingkungan keraton Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam
tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri keraton
Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian di antaranya diperkaya
dengan parang dan nitik. Motif batik Yogyakarta diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Motif Ceplok, Grompol
Batik yogyakarta motif ceplok
ini mencakup berbagai macam desain geometris, biasanya berdasar pada
bentuk bunga mawar yang melingkar, bintang ataupun bentuk kecil lainnya,
membentuk pola yang simetris secara keseluruhan pada kain batik yogyakarta. Grompol
dalam kosakata Jawa memiliki arti berkumpul atau bersatu. Melambangkan
harapan orang tua akan semua hal yang baik berkumpul, yaitu rejeki,
kerukunan hidup, kebahagiaan, dan ketentraman untuk kedua mempelai dan
keluarga pengantin. Selain itu, grompol juga bermakna harapan, supaya
kedua mempelai dapat berkumpul menjadi satu atau untuk mengingat
keluarga besarnya saat ke mana pun mereka pergi. Harapan yang lain
adalah agar semua sanak saudara dan para tamu undangan dapat menyatu
sehingga pesta pernikahan berjalan meriah.
2. Motif Kawung
Batik yogyakarta motif kawung
berupa empat lingkaran atau elips mengelilingi lingkaran kecil sebagai
pusat dengan susunan memanjang menurut garis diagonal miring ke kiri
atau ke kanan berselang-seling. Melambangkan 4 arah angin atau sumber
tenaga yang mengelilingi yang berporos pada pusat kekuatan, yaitu :
timur (matahari terbit: lambang sumber kehidupan), utara (gunung:
lambang tempat tinggal para dewa, tempat roh/kematian), barat (matahari
terbenam : turunnya keberuntungan) selatan (zenit:puncak segalanya).
Dalam hal
ini raja sebagai pusat yang dikelilingi rakyatnya. Kerajaan merupakan
pusat ilmu, seni budaya, agama, pemerintahan, dan perekonomian. Rakyat
harus patuh pada pusat, namun raja juga senantiasa melindungi rakyatnya.
Kawung juga melambangkan kesederhanaan dari seorang raja yang
senantiasa mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Batik yogyakarta motif kawung juga berarti sebagai simbol keadilan dan kesejahteraan.
Ada
beberapa orang yang beranggapan bahwa kawung merupakan salah satu jenis
pohon palem atau aren dengan buah yang berbentuk bundar lonjong,
berwarna putih agak jernih yang disebut “kolang-kaling”. Pendapat lain
mengatakan bahwa kawung merupakan bentuk sterilisasi teratai (Lotus)
yang bermakna kesakralan dan kesucian. Pada zaman klasik (pengaruh Hindu
Budha), lotus merupakan simbol dewa-dewa. Oleh karena itu batik yogyakarta motif kawung
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bersifat murni, suci, dari
putih kembali ke putih. Pada intinya motif kawung dapat kita simpulkan
berbentuk bulat lonjong atau elips.

3. Motif Parang
Batik yogyakarta motif parang
biasa disebut sebagai motif batik keris atau pola pedang oleh
masyarakat internasional. Sedangkan dalam masyarakat Jawa biasa disebut
dengan motif Parang Lidah api atau lidah api. Parang merupakan salah satu motif batik
paling kuat dari motif batik lain yang ada. Motif parang berupa
garis-garis tegas yang disusun secara diagonal paralel. Motif parang
sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak, parang Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah.
Karena penciptanya adalah seorang pendiri Keraton Mataram, maka oleh
kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan
keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu
kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”.
Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada batik yogyakarta motif parang
sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam,
dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi kemiringan pada
parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak
cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat. Menurut
penuturan Mari S Condronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat
kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta
tahun 1927. “Selain motif Parang Rusak Barong, motif Batik Larangan
pada zaman itu adalah, motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran,”
jelasnya.
- Parang Barong, diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata barong berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Parang Barong merupakan induk dari semua pola parang. motif barong dulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Pola ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.
- Parang Rusak, dikenakan oleh keluarga kerajaan pada acara-acara kenegaraan, Parang Rusak melambangkan pertarungan internal manusia melawan kejahatan dengan mengendalikan keinginan mereka sehingga mereka yang bijaksana, berakhlak mulia akan menang.

4. Motif Lereng
Batik yogyakarta motif lereng
berupa pola baris diagonal di antara motif parang. Selain itu, banyak
pola yang hanya berupa deretan garis diagonal sempit dipenuhi dengan
seluruh lereng dari pola kecil. Batik yogyakarta motif lereng
merupakan salat satu pola lama yang disediakan untuk keluarga kerajaan.
Salah satu motif lereng yang sering ditemui adalah udang liris (hujan
ringan). Batik yogyakarta motif lereng
melambangkan kesuburan, harapan untuk kemakmuran, tekad, untuk memiliki
keberanian untuk melaksanakan apa yang penting bagi bangsa dan rakyat.
5. Motif Nitik
Batik yogyakarta motif nitik
sebenarnya berasal dari pengaruh luar negeri yang berkembang di pantai
utara laut Jawa, sampai akhirnya berkembang pula di pedalaman menjadi
suatu motif yang sangat indah. Pada saat pedagang dari Gujarat datang di
pantai utara pulau Jawa, dalam dagangannya terdapat kain tenun dan
bahan sutera khas Gujarat. Motif dan kain tersebut berbentuk geometris
dan sangat indah, dibuat dengan teknik dobel ikat yang disebut “Patola”
yang dikenal di Jawa sebagai kain “cinde”. Warna yang digunakan adalah
merah dan biru indigo. Selain terdiri dari bujur sangkar dan persegi
panjang, Nitik dari Yogyakarta juga diperindah dengan hadirnya isen-isen
batik lain seperti, cecek (cecek pitu, cecek telu), bahkan ada yang
diberi ornamen batik dengan Klowong maupun Tembokan, sehingga
penampilannya baik bentuk dan warnanya lain dari motif Jlamprang
Pekalongan.
Batik yogyakarta motif nitik
menggunakan warna indigo, soga (coklat) dan putih. Seperti motif batik
yang berasal dari Kraton lainnya, motif Nitik kreasi Kraton juga
berkembang keluar tembok Kraton. Lingkungan Kraton Yogyakarta yang
terkenal dengan motif Nitik yang indah adalah Ndalem Brongtodiningrat.
Pada tahun 1940, Brongtodiningrat pernah membuat dokumen diatas mori
berupa batik kelengan dan lima puluh enam motif Nitik. Sejak kira-kira
tahun 1950 sampai saat ini, pembatikan yang membuat batik Nitik adalah
Desa Wonokromo dekat Kotagede.
Seperti halnya motif batik yang lain, Batik yogyakarta motif nitik
juga mempunyai arti filosofis, misalnya nitik cakar yang sering
digunakan pada upacara adat perkawinan. Diberi nama demikian karena pada
bagian motifnya terdapat ornamen yang berbentuk seperti cakar. Cakar
yang di maksud adalah cakar ayam atau kaki bagian bawah. Cakar ini oleh
ayam digunakan untuk mengais tanah mencari makanan atau sesuatu untuk
dimakan. Motif nitik cakar dikenakan pada upacara adat perkawinan
dimaksudkan agar pasangan yang menikah dapat mencani nafkah dengan halal
sepandai ayam mencari makan dengan cakarnya. Nitik cakar dapat berdiri
sendiri sebagai motif dan satu kain atau sebagai bagian dan motif kain
tertentu, seperti motif Wirasat atau Sidodrajat, yang juga sening
digunakan dalam upacara adat perkawinan.
6. Truntum
Batik yogyakarta motif truntum
diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III)
bermakna cinta yang tumbuh kembali. Beliau menciptakan motif ini
sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi dan semakin lama
terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Karena maknanya, Batik yogyakarta motif truntum
biasanya dipakai oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan.
Harapannya adalah agar cinta kasih yang tumaruntum ini akan menghinggapi
kedua mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban untuk
“menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.
7. Motif Semen
Batik yogyakarta motif semen
dimaknai sebagai penggambaran dari “kehidupan yang semi” (kehidupan
yang berkembang atau makmur). Terdapat beberapa jenis ornamen pokok pada
motif-motif semen. Yang pertama adalah ornamen yang berhubungan dengan daratan, seperti tumbuh-tumbuhan atau binatang berkaki empat. Kedua adalah ornament yang berhubungan dengan udara, seperti garuda, burung dan mega mendung. Sedangkan yang ketiga
adalah ornamen yang berhubungan dengan laut atau air, seperti ular,
ikan dan katak. Jenis ornamen tersebut kemungkinan besar ada hubungannya
dengan paham Triloka atau Tribawana. Paham tersebut adalah ajaran
tentang adanya tiga dunia; dunia tengah tempat manusia hidup, dunia atas
tempat para dewa dan para suci, serta dunia bawah tempat orang yang
jalan hidupnya tidak benar/dipenuhi angkara murka.
Selain makna tersebut Batik yogyakarta motif semen
Rama (dibaca Semen Romo) sendiri seringkali dihubungkan dengan cerita
Ramayana yang sarat dengan ajaran Hastha Brata atau ajaran keutamaan
melalui delapan jalan. Ajaran ini adalah wejangan keutamaan dari
Ramawijaya kepada Wibisana ketika dinobatkan menjadi raja Alengka. Jadi
“Semen Romo” mengandung ajaran sifat-sifat utama yang seharusnya
dimiliki oleh seorang raja atau pemimpin rakyat.
8. Motif Gurda (Garuda)
Batik yogyakarta motif gurda atau garuda umumnya dipadu dengan motif batik
lainya seperti motif batik sawat dan dan dikenal dengan nama sawat
gurdo. Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya
yang sederhana juga gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak
variasinya. Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis
burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya
Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda
ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat
badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai
binatang yang suci.
Dalam
cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai burung
Garuda. Burung ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa
maguru, yang artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. Adapun cerita
tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang Wisnu, menurut
salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda
dengan para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan,
sehingga mereka meminta bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian
menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu terjadi perdebatan diantara
keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka burung
Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja
yang nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu
mengajukan permohonan agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk
mengantarkan kembali ke Sorga Loka (tempat tinggal para dewa).
Menurut
pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut sebagai Sang
Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan peristiwa
diatas, bahwa akhirnya Garuda menjadi tunggangannya Sang Dewa Matahari,
maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai lambang matahari. Kecuali
itu Garuda dianggap pula sebagai lambang kejantanan. Dasar pemikirannya
adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda dipandang
sebagai sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan lambang
kejantanan, dan diharapkan agar selalu menerangi kehidupan umat manusia
di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang Yogyakarta mewujudkan burung
yang suci ini kedalam Batik yogyakarta motif gurda.
9. Motif Isen
Pola
mengisi disebut Isen sangat karakteristik Indonesia, khususnya Jawa,
batik. Halus diberikan dalam garis lilin, desain ini kecil menambah
keindahan kedalaman dan harmonis untuk kain keseluruhan. Batik yogyakarta motif isen terdiri dari ornamen utama dan ornamen pengisi. Batik yogyakarta motif isen
adalah berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis yang
berfungsi untuk ornament-ornamen dari motif atau pengisi bidang diantara
ornament-ornamen tersebut. Batik yogyakarta motif isen
ada bermacam-macam dan sekarang masih berkembang, seperti cecek, cecek
pitu, sisik melik, cecek sawut, cecek sawu daun, sisik gringsing,
galaran, rambutan, sirapan, cacah gori, dan sebagainya.
Batik
tulis yogyakarta telah berkembang sangat pesat hingga hari ini
dinobatkan sebagai kota batik dunia dan berikut ini beberapa brand batik
yang cukup populer di Yogyakarta yaitu batik rumah yogyakarta,batik
roro jonggrang yogyakarta,batik soenardi yogyakarta,batik danar hadi
yogyakarta,batik wisnu yogyakarta,batik margaria yogyakarta,batik rosso
yogyakarta,batik pangestu yogyakarta.
Daftar Pustaka Batik Yogyakarta
- Batik Winoto Sastro, http://www.winotosastro.com/batik/batikyogya.html
- Museum Batik, http://jv.wikipedia.org/wiki/Mus%C3%A9um_Batik_Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar